“TERNYATA
... HANYA AKU YANG BAPER”
Siang
ini pandangan kita saling bertemu untuk beberapa detik. Ku melihatnya dari dari
dalam kantorku, sedangkan dia melintas di depan kantorku. Ku lihat dari jendela
dia tersenyum lebar. Dan aku pikir senyuman itu dampak dari menatapku. Ya
Tuhan, lagi-lagi aku terlalu baper.
“Hubungan
lo sama Andra sudah sejauh mana, Vi?” Tanya Mbk Arini membangunkanku dari
lamunan.
“Belum
gimana-gimana mbk. Biasa aja.” Jawabku
“Namanya
jodoh dan rezeki emang udah ada yang ngatur, Vi. Tapi apa salahnya kalo
diusahain. Elo harus berusaha pepet dia , hahaha.” Kata Mbk Arini penuh
semangat yang aku sambut dengan senyuman ringan.
***
Malam
harinya, aku kepikiran dengan ucapan Mbk Arini. Gak ada salahnya juga kalau aku
coba berusaha deketin Mas Andra. Selang beberapa menit kemudian, suara
panggilan dari Handphone ku berbunyi. Disana tertulis nama Mas Andra. Ya, kami
memang beberapa kali telfonan seperti ini.
“Halo,
Assalamualaiku.” Kataku membuka salam ketika menjawab panggilan Mas Andra.
“Waalaikumsalam.”
Jawab nya pelan.
“Gimana
persiapan buat kegiatan besok, Vi?” Lanjutnya menanyakan tentang kegiatan LCC
tingkat Gugus yang akan diadakan besok.
Ya,
kami adalah seorang Sekolah Dasar. Tapi, aku dan dia mengajar di sekolah
berbeda. Hari ini dia datang ke sekolahku untuk mempersiapkan acara perlombaan
besok.
“Yaa...begitu
lah mas. Tidak 100 persen. Besok tinggal Bismillah aja. Hahaha.” Jawabku yang
disusul suara tawa dari kami berdua.
Obrolan
kami lanjutkan dengan topik-topik seputar sekolah. Di pertengahan obrolan,
sempat terpikir untuk berkata jujur tentang perasaanku ke Mas Andra. Namun,
bibir ini belum berani mengungkapkannya. Aku pikir, mungkin lebih baik setelah
acara selesai. Supaya besok ketika bertemu, kita tidak ada canggung.
***
Hari
perlombaan pun tiba. Ku lihat Mas Andra tiba di sekolahku dengan tiga siswa
beserta guru dari sekolah nya. Kita tak banyak mengobrol karena kita sibuk
dengan tanggung jawab masing-masing. Kita hanya sempat melakukan sedikit
percakapan seputar kegiatan hari ini. Oh Tuhan... Aku ingin sekali berfoto
dengan nya hanya sekedar untuk kenang-kenangan. Tapi, yaah...itu hanya inginku saja yang tak
terwujud.
***
“Selamat
ya, Lev. Mantap pokok nya.” Kata Mas Andra memberikan semangat atas
keberhasilan anak didik ku yang mendapatkan juara 2.
“Makasih,
Mas. Selamat juga, anak-anak mas juga hebat.” Balasku memberikan selamat untuk
anak didik nya.
“Kalau
gitu saya pamit duluan, mau ngantar anak-anak pulang dulu soalnya.” Pamit Mas
Andra sambil mengulurkan tangan kananya kepadaku.
“Oke,
Mas”. Jawabku sambil menjabat tangannya.
Masih
teringat jelas saat kita bersalaman. Dia menatapku sambil tersenyum. Dan kami pun
sempat bertatapan selama kurang lebih 3 detik. Ya... walaupun hanya 3 detik,
tapi itu sangat berkesan buatku.
***
Oke.
Malam ini aku akan mengungkapkan perasaanku. Karena aku pikir tidak baik jika
aku terus terbawa perasaan tanpa kejelasan yang pasti seperti ini terus. Bisa
saja hanya aku yang salah paham dengan perhatiannya.
Akhirnya,
aku memberanikan diri untuk menelfonnya.
“Assalamualaikum.”
Salam Mas Andra ketika menjawab telfonku.
“Waalaikum
salam. Lagi apa, Mas? Aku menjawab salam nya dan langsung memulai pembicaraan.
“Lagi
beres-beres kamar ni.” Jawab Mas Andra.
“Emm...
Mas, ada yang mau aku omongin nih.” Kataku ragu
“Apa
vi? Kelihatannya kok serius.” Tanya Mas Andra penasaran.
“Maaf
nih Mas, aku mau kepo. Hehehe. Mas ada pacar atau calon gitu? Aku mulai
bertanya dengan ragu.
“Mas
gak ada pacar atau calon.” Jawaban Mas Andra sedikit membuatku lega.
“Tapi
kalau udah nemu yang cocok, Mas mau serius.” Lanjut nya
“Sekarang
udah nemu yang cocok?” Tanyaku tanpa sabar.
“Alhamdulillah sudah, Vi.” Ya Tuhan... Jawaban
ini seketika membuat hatiku sakit.
Aku
terdiam sejenak, aku takut tak bisa meneruskan kata-kataku karena sakit yang
tiba-tiba menyerang dadaku.
“Ada
apa, Vi? Kok tumben kepo banget?” Tanya Mas Andra yang menghentikan diamku.
“Jadi
gini Mas. Aku mau jujur. Semenjak kita mulai kontek-kontekan, beberapa hari
terakhir ini aku mulai memperhatikan keberadaan Mas. Padahal dulu aku nggak
peduli sama Mas Andra. Aku juga merasa nyaman ketika sedang telfonan sama Mas.
Padahal aku orangnya anti banget telfonan, kecuali penting. Aku juga pernah
beberapa kali merasa deg-degan ketika bertemu Mas. Aku gak tau ini perasaan apa
dan apakah sementara atau berkelanjutan. Maaf Mas. Aku harus jujur tentang
perasaanku. Karena kalau di tahan terus malah jadi jerawat. Dan Maaf juga aku
tadi udah kepo. Aku jadi tau kalo Mas sudah punya seseorang. Aku juga jadi tau
harus gimana dan aku harus mengatur ulang perasaanku.” Aku mengungkapkan
perasaanku dengan tetesan air mata dipipiku.
“Maaf
ya, Vi. Mas kenal Elvi karena ingin menjalin hubungan rekan kerja yang baik.
Maaf juga kalau sikap Mas kadang berlebihan sama Elvi.” Jawab Mas Andra meminta
maaf.
“Oke
Mas. Gak Papa. Aku nya aja yang kebaperan ternya. Hahaha”. Kataku sambil terus
menahan tangis dan aku harus memaksa bibirku tersenyum.
“Elvi
adalah orang yang luar biasa. InsyAllah akan mendapatkan yang terbaik.” Kata
Mas Andra menghiburku.
“Aamiin”.
Jawabku pelan
“Ya
udah ya, Mas. Selamat beristirahat. Assalamualaikum.” Aku lalu mengakhiri
panggilan ini.
***
Sedih?
Pasti. Kecewa? Pasti. Tapi aku bisa apa?
Tapi,
bukankah aku sudah menyadari bahwa
setiap kita mengobrol, hanya topik seputar pekerjaan yang kita bicarakan? Oh
Tuhan... Betapa naifnya aku.
Ya...
Setidaknya aku sudah mencoba mengungkapkan perasaanku.
Jika
tidak, maka aku akan salah paham dan terbawa perasaan lebih dalam dan lebih
lama. Tentu saja itu akan semakin menyakitiku.
Bukankah
sebelumnya aku tidak memperhatikan keberadaan Mas Andra? Aku hanya perlu
melakukan seperti itu lagi bukan? Seperti awal sebelum kita menjadi dekat.
Tapi, apa itu mungkin? Karena sebuah perasaan yang sudah tumbuh akan sulit
hilang, meskipun itu sekecil biji kacang.
21:52 - 01 Maret 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar